Awalnya, aku ingin bawain narasi tentang narasi redefinisi manusia. Namun, ternyata definisi manusia yang ingin aku ceritain itu bahannya ga tersedia secara gamblang di internet. Akhirnya, istilah redefinisi aku ganti jadi reinspeksi atas konsepsi manusia secara metafisik. Kenapa hal ini bisa terjadi? Aku coba ngulik kata pencarian definisi manusia dari salah satu filsuf terbesar Yunani yaitu Plato. Ternyata, walaupun ada beberapa gelagat sumber primernya yaitu di The Republic[1], susah nemuin pernyataan yang bersifat komprehensif dan konklusif. Bagaimana ga konklusif? Aku terlalu awam buat ngerti percakapan tingkat tinggi antara Plato, Adeimantus, Socrates, Glaucon, dan yang lainnya. Narasinya kebanyakan bersifat deskriptif dan argumentatif, dan sulit ditemukan pernyataan yang bersifat definitif. Wajar sih, isinya percakapan kan?
Oke-oke.
Langsung ke intinya aja.
Narasi
ini dibentuk dari hasil kuliah Seri Islamic
Worldview Class yang diampu oleh Bapak Mohamad Ishaq[2]. Materi yang beliau
ajarkan saat itu adalah konsep manusia. Namun, konsepsi ini ditelaah secara
lebih spesifik pada kajian kejiwaan atau psikologi. Masalahnya, apakah manusia
sebagai objek pembelajaran psikologi adalah sekadar benda fisik (materi) belaka
atau ada unsur metafisiknya (immateri)? Lalu, bagaimana manusia menentukan
standar hidup yang ideal? Menentukan atau ditentukan?
Kita
akui, peradaban intelektual Yunani Kuno adalah salah satu yang terbaik
sepanjang sejarah peradaban manusia, terlepas term terbaik tersebut bersifat
subjektif maupun objektif. Adalah Plato, salah satu filsuf terbesar yang
mencoba menelaah tentang konsep manusia. Olshewsky
(1976) menjelaskan bahwa konsep manusia yang diajukan Plato
berupa pemodelan jiwa dan jasad bentuk model kontainer. Model ini bermaksud
menunjukkan bahwa jiwa menempati jasad dan memberikannya hidup. Namun, jasad
hidup atas efek dari jiwa adalah sebuah hal yang tidak (atau belum) dapat
dibuktikan. Konsep ini memberlakukan jiwa melalui pembahasaan yang bersifat
spasial-fisik. Analogi yang dapat digunakan dalam melihat pemodelan ini adalah
seperti roti yang diletakkan dalam kotak yang membutuhkan dimensionalitas dan
distribusi ruang. Juga roti yang disimpan pada kotak tersebut dapat terkontaminasi oleh mikroba
yang dimiliki oleh kotak itu sendiri. Melihat bahwa, Plato juga meyakini, jiwa
itu kekal, suci, dan sebagainya. Namun, Plato juga memberikan opini bahwa jiwa
dapat menggerakkan jasad dalam bentuk yang ilahi (divine). Hal ini dikomentari oleh Olshewsky sebagai bentuk deus ex machina dalam menyelesaikan
permasalahan ini secara filosofis. Plato (n.d.), dalam The Republic, di Buku I, menceritakan bagaimana jiwa yang baik
adalah cita-cita yang agung dalam menciptakan dan diciptakannya sebuah
keadilan. Dia menyatakannya dalam terjemahan berikut.
“And
we have admitted that justice is the excellence of the soul, and injustice the
defect of the soul?” “That has been admitted.” “Then the just soul and the just
man will live well, and the unjust man will live ill?” “That is what your
argument proves.”
Baik
memang, ditinjau dari aspek aksiologisnya, meskipun hal ini tidak menjadi
tinjauan kritis utama bagaimana jiwa dapat membentuk itu semua. Sederhananya,
Plato menjadi orang yang pertama kali membentuk wacana dualisme jiwa dan jasad[3] (Eggers
Lan, 1995).
Berbeda
dengan Plato yang terlihat abstrak dan utopis, filsafat Aristoteles lebih
memberikan kesan empiris praktis, dan mudah dimengerti (Duignan,
n.d.). Terutama dalam diskursus antara term jiwa (psyche) sebagai form dan jasad (soma)
sebagai matter. Olshewsky
(1976) menyebutkan bahwa dikotomi jiwa dan jasad dapat
diilustrasikan dalam bentuk adanya tanah liat.
Clay qua clay is actually clay and in the form of clay, but clay qua
brick is potentially brick and is the material out of which the brick is made.
Which body is informed by which soul is thus no arbitrary matter, but is
limited by the capacity of that body to become the material for that shape and
function. Just as each living thing has a psyche according to its physis, so
every soul has a body whose capacities are according to potential completion in
the soul.
Bagi
Aristoteles, jasad adalah materi yang memiliki kapasitas untuk hidup dan
bergerak. Namun, tidak semua jasad memiliki kapasitas seperti itu melainkan
lebih tergantung pada ketersesuaiannya dengan form yang dimiliki. Lalu, materi tidak akan pernah berbentuk (amorphous), namun selalu dapat
diungkap. Di saat sesuatu dinyatakan potensial, maka ia adalah materi dan di
saat sesuatu itu aktual maka ia dinyatakan sebagai form. Secara praktis, Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah ‘binatang
rasional’. Definisi ini dibawa dari paham hilomorfik Aristoteles tentang
kesatuan antara form dan matter dimana, jiwa yang dimiliki
manusia menjadi pembedanya dengan binatang adalah kemampuan yang dimiliki manusia
dalam menegosiasikan keputusan terhadap hidupnya dengan kekuatan persepsi dan
keinginan yang teratur. Kondisi ini membawa term rasional menjadi predikat yang
mengimplikasikan binatang rasional qua manusia memiliki form esensial yang berbeda dan ‘akan menjadi apa’ yang berbeda pula
(Boyle,
2002). Adalah dengan banyaknya dialektika yang dipaparkan, inti
dari pernyataan Aristoteles tentang jiwa dan jasad adalah bersifat
monodualistik[4].
Sebelum
bagian I ini ditutup, alangkah baiknya kita ulik sedikit tentang apa yang
dimaksud dengan dualisme. Istilah dualisme ini merujuk pada sebuah posisi
problem pikiran-jasad yang menyatakan bahwa pikiran tidak dapat diidentifikasi
dengan jasad atau bagian dari jasad atau sifat mental bukan merupakan sifat
fisik (Perry,
Bratman, & Fischer, 2013). Kelanjutan dari dualisme ini dibentuk
lebih sistematis pada pernyataan sebagai berikut.
The form of dualism Descartes advocated is called Cartesian dualism or
interactive dualism. The mind is that which is responsible for mental states of
all kinds, including sensation, perception, thought, emotion, deliberation,
decision, and intentional action. Some philosophers maintain that this role is
played by the brain, but Descartes argued that this could not be so. His view
was that the mind was a separate thing, or substance, that causally interacted
with the brain, through it with the rest of the body and the rest of the world.
Sensation and perception involve states of the world affecting states of sense
organs, which in turn affect the brain, which causes the mind to be in certain
states. Action involves states of mind affecting the brain, which in turn
affects the body, which may interact with other things in the world.
Referensi
Boyle, M. (2002). Essentially rational animals. In G. Abel & J. Conant
(Eds.), Rethinking Epistemology. Berlin: Walter de Grutyer. Retrieved
from http://nrs.harvard.edu/urn-3:HUL.InstRepos:8641838
Duignan, B. (n.d.). Plato and Aristotle: How Do They Differ? |
Britannica.com. Retrieved January 3, 2019, from
https://www.britannica.com/story/plato-and-aristotle-how-do-they-differ
Eggers Lan, C. (1995). Body and Soul in Plato’s Anthropology. Kernos,
8(8), 107–112. https://doi.org/10.4000/kernos.592
Olshewsky, T. m. (1976). On the Relations of Soul to Body in Plato and
Aristotle. Journal of the History of Philosophy, 14(4), 391–404.
https://doi.org/10.1353/hph.2008.0163
Perry, J., Bratman, M., & Fischer, J. M. (2013). Glossary of
Philosophical Terms. In Introduction to Philosophy: Classical and
Contemporary Readings (6th ed.). Oxford: Oxford University Press. Retrieved
from
global.oup.com/us/companion.websites/9780199812998/.../pdf/perry_glossary.pdf%0A
Plato. (n.d.). The Republic. Retrieved from www.idph.net
[1] https://www.enotes.com/homework-help/what-platos-definition-human-person-364970
[2] https://independent.academia.edu/mohamadishaq
[3] Tulisan
Lan sangat menarik untuk dicermati terkait bagaimana Plato terkesan dualistik
dalam mengonsepsi jiwa dan jasad.
[4]
Tulisannya Olshewsky (1976) sangat menarik untuk dibahas dan bagaimana konsep
ini, menurut Mohamad Ishaq, bersifat monodualistik.
0 komentar:
Posting Komentar