بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Cerita ini dimulai tentang sebuah
kacamata. Kacamata ini dibeli dari sebuah ritel online di Indonesia
dengan harga yang tidak terlalu mahal; sekitar di bawah 50 ribu rupiah. Dan
betapa bahagianya aku dimana kacamata yang baru saja sampai di kos tampak mewah
dan elegan, namun dengan harga yang miring. Pokoknya, kepuasan menjadi salah
satu kesan pertama yang muncul saat pertama kali menggunakannya.
Senang pun tak bisa ditahan.
Entah lah, tiap memakai kacamata
ini aku merasa “lebih” dibanding saat tidak ber-kacamata. Lalu, aku juga
terkadang merasa lebih “tamvan” dari yang lain. Duh, sombongnya. Toh seseorang
dilihat tampan atau jelita bagi orang yang melihatnya tampan atau jelita, bukan
semua persepsi mengatakan sama persis. Selanjutnya, hari demi hari, perasaan
percaya diri ini pun lama-kelamaan muncul. Selalu, terbersit dalam hati dan
duhai nikmatnya kesombongan itu.
Dibalik semua sensasi yang aku
rasakan saat ber-kacamata, ada beberapa alibi yang aku gunakan saat memakainya:
mengurangi potensi iritasi pada mata akibat debu dan polusi, mengurangi
intensitas cahaya yang dapat merusak mata, mengurangi angin yang dapat membuat
mata merah dan berair saat berkendara, dan berbagai alasan-alasan lain yang
memang kebanyakan orang mengatakan hal-hal tersebut adalah bullshit. Kebetulan
memang lensa pada kacamata tersebut adalah 0 atau netral.
Nah, semakin lama dipakai,
pandangan yang awalnya menunduk malu-malu dengan penampilan yang berbeda, mulai
lah pandangan yang dulu tunduk mulai menegak. Mata yang dulu menatap jalan kini
mulai jelalatan. Asiknya “mencuci mata” dalam keadaan percaya diri, kira-kira
begitu lah kondisinya. Saat bersepeda, saat menaiki kendaraan, saat ke mall,
saat ke kampus, saat bepergian malam hari, pokoknya di saat ada alasan seperti
di atas untuk bisa menggunakan kacamata. Apalagi dengan alibi menarik perhatian
wanita yang membuat hati klepek-klepek, ah sudahlah.
Lambat laun, seiring berjalannya
waktu, ada sesuatu yang sangat mengganjal diri ini tentang kacamata tersebut.
Tentang sebuah situasi dimana situasi tersebut lazim dirasakan banyak orang,
apalagi aku. Ya, kacamata itu hilang. Singkatnya, saat kuletakkan di kamar
kecil dan aku lupa mengambilnya.
Hati pun bertanya-tanya.
Kira-kira ada yang salah kah dari kacamata itu? Apakah uang yang aku gunakan
tidak cukup halal untuk bisa mempertahankannya barang setahun atau dua tahun?
Toh, kiranya tidak ada orang yang tersinggung, walau siapa yang tahu? Apa aku
sebagai seorang anak yang diasuh oleh orang tua yang mampu merasa “selaw”
dengan barang-barang yang ku gunakan? Entah lah. Pikirku semakin kemana-mana.
Kenapa bisa hilang? Kenapa bisa lupa? Kenapa petugas kebersihan yang aku tanya
tidak tahu keberadaannya? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa kacamata itu tidak
kunjung kembali dengan cara yang ajaib? Kenapa bukan rezekiku? Ah, hikmahnya
akan kutulis di bagian akhir.
Sampai saat cerita ini ditulis,
khatib pernah berkata,
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَر۞َ
Di saat Muhammad Saw. kehilangan anak yang sangat beliau cintai, lalu
Allah Yang Maha Kuasa menghibur beliau dengan kalimat, “Sesungguhnya engkau
telah Kami diberi nikmat yang maha banyak” (QS. Al-Kautsar:1). Di saat Ya’qub
As. kehilangan Yusuf As. dan beliau berkata,قَالَ بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنْفُسُكُمْ أَمْرًا فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ۞
“Ya'qub
berkata: "Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang
buruk) itu; maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah saja lah
yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan” (QS. Yusuf:18).
Bahkan sekelas Nabi sekali-pun, kehilangan-kehilangan tetap Allah berikan.
Hingga Ya’qub As. menjadi buta akibat memikirkan keberadaan anak yang sangat
beliau cintai di saat umurnya yang telah tua renta, ditambah dengan kelakuan
kakak-kakak Yusuf As. yang sebenarnya beliau benci namun tidak ditampakkan. Di
saat Luth As. dihujani dan diluluh lantakkan teman hidup yang beliau cintai di
saat kaumnya ingkar terhadap yang beliau katakan. Di saat Nuh As. kehilangan
anaknya yang ditelan banjir. Di saat kita semua akan menghadapi kehilangan yang
maha dahsyat kedua terberat, apa itu?
Kehilangan
orang tua.
Entah lah, rasanya seperti hampa,
walaupun aku belum pernah merasa dan pasti sepasti-pastinya akan merasa.
Kehilangan sosok orang tua yang mewarnai hidup kita sejak lama, baik kandung
maupun angkat, baik jauh maupun dekat, baik seagama maupun tidak. Mereka lah
yang kiranya paling berharga dalam hidup kita atau orang kebanyakan. Dan semoga
orang tua kita yang hidup dan telah berkelana di alam kubur, melihat kelakuan
anak-anaknya, apakah bermanfaat baginya atau tidak, apakah membuatnya beruntung
atau celaka, semoga, semoga, selalu dalam lindungan Allah Swt.
Namun, sebenarnya, bukan
kehilangan orang tua yang menjadi kehilangan terbesar dalam hidup, menurutku,
tapi kehilangan diri kita sendiri.
Sebuah kehampaan, sebuah
kepasrahan, sebuah sensasi kesendirian yang digdaya. Putus seluruh amalan baik
kecuali yang telah disebutkan Baginda Saw. dan tidak akan putus semua kejahatan
yang telah kita ajarkan atau kita wariskan kepada orang lain. Kalau ada amalan kontinu
tersebut, kalau tidak? Heh. Tetapi, lebih buruknya lagi, amalan-amalan buruk
yang selalu dilanggengkan olah teman, kerabat, bahkan anak, bahkan cucu, adalah
berkat pengajaran kita, heh. Jangan lah ya Allah, Engkau biarkan kami berdebat
di ciptaan-Mu yang paling pedih, sadis, siksa.
قَالُوا رَبَّنَا مَنْ قَدَّمَ لَنَا هَذَا فَزِدْهُ عَذَابًا
ضِعْفًا فِي النَّارِ۞وَقَالُوا مَا لَنَا لا نَرَى رِجَالا كُنَّا نَعُدُّهُمْ
مِنَ الأشْرَارِ۞أَتَّخَذْنَاهُمْ سِخْرِيًّا أَمْ زَاغَتْ عَنْهُمُ
الأبْصَارُ۞إِنَّ ذَلِكَ لَحَقٌّ تَخَاصُمُ أَهْلِ النَّارِ۞
“Mereka
berkata (lagi): "Ya Tuhan kami; barang siapa yang menjerumuskan kami ke
dalam azab ini maka tambahkanlah azab kepadanya dengan berlipat ganda di dalam
neraka." Dan (orang-orang durhaka)
berkata: "Mengapa kami tidak melihat orang-orang yang dahulu (di dunia)
kami anggap sebagai orang-orang yang jahat (hina).” Apakah kami dahulu
menjadikan mereka olok-olokan, ataukah karena mata kami tidak melihat
mereka?" Sesungguhnya yang demikian itu pasti terjadi, (yaitu)
pertengkaran penghuni neraka. (QS. Shad:61-64).
Maka,
kematian diri adalah kehilangan yang sebenarnya. Akhir adalah kunci. Begitu lah
Islam mengajarkan. Bahkan seandainya Fir’aun tidak menunda pertobatannya, maka
siapa yang menjamin dia tidak masuk surga kecuali Allah? Sekelas Fir’aun pun,
jika dia bertobat dengan sebenarnya, apakah Zat Yang Maha Lembut tidak sudi
mengampuninya? Sehancur-hancurnya orang berbuat, berkiprah dalam kejahatan,
selama nafas belum di ujung tenggorokan, maka dengan izin-Nya, Ia jamin bahwa
pintu tobat selalu terbuka. Namun, alangkah nahas, tobat yang kita lakukan
sekedar manis di mulut. Lantak lah situ. Ya Allah, walaupun tobat kami
semu, rapuh, sirna, ajarkan lah kami untuk selalu memperbarui tobat kami,
selalu memperbaikinya, selalu menjaganya. Di kala Baginda Saw. bertobat seratus
kali dalam sehari dan aku pikir, dosa apa yang telah beliau lakukan
sedangkan beliau maksum, terjaga, bebas, suci, dari dosa?
Maka, dengan sangat rendah, dengan kerendahan hati seorang hamba yang absolut,
mutlak, beliau mengatakan,
“Tidak
pantas kah aku menjadi hamba yang bersyukur?”
Dan
kematian beliau masih saja memikirkan umat? Come on man? Logis tidak?
Jelas logis! Lebay tidak? Jelas tidak! Entah sebersih apa hati Baginda Saw.
yang masih saja memikirkan umatnya terutama umat akhir zaman yang hina dina,
berzina setiap saat, sombong setiap saat, dusta setiap saat, lalai setiap saat,
dan masih saja menjadikan makhluk yang bergoyang di atas panggung sebagai
idola. YA LAYTANII, YA LAYTANII, YA LAYTANII KUNTU TURABA! Alangkah aku lebih
baik menjadi tanah ya Nabi, ya Rasul, ya Habib?
Terutama
orang yang kehilangan seuput nikmat Tuhan Yang Maha Murka, Maha Lembut, Maha
Bijaksana. Ya, kacamata itu.
Dengan kemuliaan Allah Yang
Abadi, maka ada hikmah yang aku dapati pada QS. An-Nur:30,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا
فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
Katakanlah kepada orang laki-laki
yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".
Mudah-mudahan ini adalah bisikan
hikmah yang Allah berikan, betapa mulianya Al-Qur’an. Tanpa kacamata, dengan
menundukkan pandangan, dengan bismillah biidznillah, debu, polusi, apapun, yang
merusak mata dengan berasaskan ibadah, dengan izin-Nya, tidak akan mengiritasi
ataupun merusak mata. Toh, kalau rusak dengan alasan yang syar’i menjadi ujian
tersendiri. Seperti seharusnya menjadi kebahagiaan orang yang rabun tidak
melihat secara jelas bungkus manusia berjalan atau seorang lelaki yang menggoda
iman. Lalu, kehilangan se-per tidak terbatas nikmat dari Allah adalah hikmah,
adalah rahmah, adalah barokah, bagi kedua mata yang banyak berlumur dosa ini.
Dan aku pun tidak dapat menjamin setelah tulisan ini dibaca, apakah mata ini
tetap jelalatan atau tidak. Aku berlindung dari keburukan makhluk kepada Sang
Khaliq.
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
0 komentar:
Posting Komentar