Sabtu, 08 April 2017

Hilangnya Kacamataku

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Cerita ini dimulai tentang sebuah kacamata. Kacamata ini dibeli dari sebuah ritel online di Indonesia dengan harga yang tidak terlalu mahal; sekitar di bawah 50 ribu rupiah. Dan betapa bahagianya aku dimana kacamata yang baru saja sampai di kos tampak mewah dan elegan, namun dengan harga yang miring. Pokoknya, kepuasan menjadi salah satu kesan pertama yang muncul saat pertama kali menggunakannya.

Senang pun tak bisa ditahan.

Entah lah, tiap memakai kacamata ini aku merasa “lebih” dibanding saat tidak ber-kacamata. Lalu, aku juga terkadang merasa lebih “tamvan” dari yang lain. Duh, sombongnya. Toh seseorang dilihat tampan atau jelita bagi orang yang melihatnya tampan atau jelita, bukan semua persepsi mengatakan sama persis. Selanjutnya, hari demi hari, perasaan percaya diri ini pun lama-kelamaan muncul. Selalu, terbersit dalam hati dan duhai nikmatnya kesombongan itu.

Dibalik semua sensasi yang aku rasakan saat ber-kacamata, ada beberapa alibi yang aku gunakan saat memakainya: mengurangi potensi iritasi pada mata akibat debu dan polusi, mengurangi intensitas cahaya yang dapat merusak mata, mengurangi angin yang dapat membuat mata merah dan berair saat berkendara, dan berbagai alasan-alasan lain yang memang kebanyakan orang mengatakan hal-hal tersebut adalah bullshit. Kebetulan memang lensa pada kacamata tersebut adalah 0 atau netral.

Nah, semakin lama dipakai, pandangan yang awalnya menunduk malu-malu dengan penampilan yang berbeda, mulai lah pandangan yang dulu tunduk mulai menegak. Mata yang dulu menatap jalan kini mulai jelalatan. Asiknya “mencuci mata” dalam keadaan percaya diri, kira-kira begitu lah kondisinya. Saat bersepeda, saat menaiki kendaraan, saat ke mall, saat ke kampus, saat bepergian malam hari, pokoknya di saat ada alasan seperti di atas untuk bisa menggunakan kacamata. Apalagi dengan alibi menarik perhatian wanita yang membuat hati klepek-klepek, ah sudahlah.

Lambat laun, seiring berjalannya waktu, ada sesuatu yang sangat mengganjal diri ini tentang kacamata tersebut. Tentang sebuah situasi dimana situasi tersebut lazim dirasakan banyak orang, apalagi aku. Ya, kacamata itu hilang. Singkatnya, saat kuletakkan di kamar kecil dan aku lupa mengambilnya.

Hati pun bertanya-tanya. Kira-kira ada yang salah kah dari kacamata itu? Apakah uang yang aku gunakan tidak cukup halal untuk bisa mempertahankannya barang setahun atau dua tahun? Toh, kiranya tidak ada orang yang tersinggung, walau siapa yang tahu? Apa aku sebagai seorang anak yang diasuh oleh orang tua yang mampu merasa “selaw” dengan barang-barang yang ku gunakan? Entah lah. Pikirku semakin kemana-mana. Kenapa bisa hilang? Kenapa bisa lupa? Kenapa petugas kebersihan yang aku tanya tidak tahu keberadaannya? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa kacamata itu tidak kunjung kembali dengan cara yang ajaib? Kenapa bukan rezekiku? Ah, hikmahnya akan kutulis di bagian akhir.

Sampai saat cerita ini ditulis, khatib pernah berkata,

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَر۞َ

Di saat Muhammad Saw. kehilangan anak yang sangat beliau cintai, lalu Allah Yang Maha Kuasa menghibur beliau dengan kalimat, “Sesungguhnya engkau telah Kami diberi nikmat yang maha banyak” (QS. Al-Kautsar:1). Di saat Ya’qub As. kehilangan Yusuf As. dan beliau berkata,