Tidak bisa
dipungkiri, filsafat Islam sangat dipengaruhi oleh filsafat Yunani yang lebih
maju dan komprehensif dibandingkan filsafat-filsafat lainnya: Kristiani dan
sebagainya. Ahli agama yang terlatih dalam disiplin tradisional Qur’an dan
Hadis mengutuk paham pagan (Yunani) sebagai salah satu tolok ukur pemikiran
Islam pada saat itu. Namun, filsuf muslim kala itu membela dengan gigih dan
terarah seraya berpijak pada kata-kata Al-Kindi (wafat sekitar 256 H):
Kita tidak boleh malu untuk mengakui kebenaran dan
menganutnya dari mana pun ia datang
kepada
kita. Bahkan, sekalipun hal tersebut dihadirkan kepada kita oleh generasi-generasi
ter-
dahulu
dan bangsa-bangsa asing. Bagi orang yang mencari kebenaran, tidak ada nilai
yang le-
bih
tinggi daripada kebenaran itu sendiri. Ia tidak pernah merendahkan atau mencela
orang yang
mencarinya,
tetapi justru menghargai dan menghormatinya.
[Sejatinya
kebenaran yang hakiki hanya bersumber dari Qur’an dan Hadis. Interpretasi
kebenaran yang paling konseptual terkandung di dalamnya. Hal ini bukan
merupakan doktrinisasi yang bersifat kaku,
namun dapat dijelaskan secara ilmiah melalui pembelajaran dinamis berdasarkan
berbagai sumber yang valid baik ilmu agama dan sains setelah keimanan yang kita
nyatakan pada konsep sami’na wa atha’na.
Pun sejatinya agama dan sains tidak berbenturan sedikit pun pada hakikatnya.
Bagaimana mungkin Tuhan membenturkan sesuatu yang menjadi bahan pembelajaran
fundamental bagi manusia dalam menghayati ciptaan-Nya? Tetapi, manusia-lah yang
memiliki kelemahan berupa daya nalar yang terbatas dan terkadang bersifat
esoterik sehingga analisis yang dihasilkan masih dapat diperdebatkan. Lagi pun,
penulis berpendapat sains merupakan temuan manusia yang merupakan hasil
observasinya berupa interpretasi terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di
alam semesta.
Pemikiran-pemikiran yang dihasilkan bersifat subjektif-objektif terhadap fenomena yang diamati serta diakui kebenarannya di kalangan orang banyak. Pengakuan tersebut menciptakan kebenaran yang terkesan bersifat universal, sehingga kebenaran tersebut bukan “kebenaran” yang sebenarnya. Isaac Newton dalam menemukan hukumnya pada saat ia melihat apel yang jatuh dari pohonnya ternyata berhasil mempengaruhi hukum fisika terutama sub dinamika partikel hingga saat ini. Hukum Newton bersifat eksak dan dapat dirumuskan secara secara sederhana dalam bentuk perhitungan matematis. Tetapi, beberapa tahun setelahnya, Einstein mengemukakan sebuah teori Relativitas dimana fenomena fisika yang diamatinya bersifat “boleh jadi” atau lebih tepatnya relatif terhadap subjek dan objek. Hal ini juga dibuktikan, secara sederhana, dengan hukum ketidakpastian lintasan elektron pada atom yang tidak dapat ditentukan secara presisi. Walaupun, lucunya, Einstein menolak prinsip yang dikemukakan oleh Heisenberg yang mungkin terlalu indeterministik (terlalu dinamis), padahal Einstein sendiri “menciptakan” teori yang bersifat dinamis. Secara metodologi, kedua prinsip ini sama-sama benar, namun yang bertentangan adalah filosofi dan kejadian yang terjadi di kehidupan nyata masih bersifat metafisik karena tingkat kerumitan yang begitu tinggi: mekanika kuantum.
Pemikiran-pemikiran yang dihasilkan bersifat subjektif-objektif terhadap fenomena yang diamati serta diakui kebenarannya di kalangan orang banyak. Pengakuan tersebut menciptakan kebenaran yang terkesan bersifat universal, sehingga kebenaran tersebut bukan “kebenaran” yang sebenarnya. Isaac Newton dalam menemukan hukumnya pada saat ia melihat apel yang jatuh dari pohonnya ternyata berhasil mempengaruhi hukum fisika terutama sub dinamika partikel hingga saat ini. Hukum Newton bersifat eksak dan dapat dirumuskan secara secara sederhana dalam bentuk perhitungan matematis. Tetapi, beberapa tahun setelahnya, Einstein mengemukakan sebuah teori Relativitas dimana fenomena fisika yang diamatinya bersifat “boleh jadi” atau lebih tepatnya relatif terhadap subjek dan objek. Hal ini juga dibuktikan, secara sederhana, dengan hukum ketidakpastian lintasan elektron pada atom yang tidak dapat ditentukan secara presisi. Walaupun, lucunya, Einstein menolak prinsip yang dikemukakan oleh Heisenberg yang mungkin terlalu indeterministik (terlalu dinamis), padahal Einstein sendiri “menciptakan” teori yang bersifat dinamis. Secara metodologi, kedua prinsip ini sama-sama benar, namun yang bertentangan adalah filosofi dan kejadian yang terjadi di kehidupan nyata masih bersifat metafisik karena tingkat kerumitan yang begitu tinggi: mekanika kuantum.