Minggu, 11 Desember 2016

Sebuah Pengantar; Filsafat Etika Al-Ghazali Bagian 1


          Tidak bisa dipungkiri, filsafat Islam sangat dipengaruhi oleh filsafat Yunani yang lebih maju dan komprehensif dibandingkan filsafat-filsafat lainnya: Kristiani dan sebagainya. Ahli agama yang terlatih dalam disiplin tradisional Qur’an dan Hadis mengutuk paham pagan (Yunani) sebagai salah satu tolok ukur pemikiran Islam pada saat itu. Namun, filsuf muslim kala itu membela dengan gigih dan terarah seraya berpijak pada kata-kata Al-Kindi (wafat sekitar 256 H):

               Kita tidak boleh malu untuk mengakui kebenaran dan menganutnya dari mana pun ia datang

                kepada kita. Bahkan, sekalipun hal tersebut dihadirkan kepada kita oleh generasi-generasi ter-

                dahulu dan bangsa-bangsa asing. Bagi orang yang mencari kebenaran, tidak ada nilai yang le-

                bih tinggi daripada kebenaran itu sendiri. Ia tidak pernah merendahkan atau mencela orang yang

                 mencarinya, tetapi justru menghargai dan menghormatinya.

[Sejatinya kebenaran yang hakiki hanya bersumber dari Qur’an dan Hadis. Interpretasi kebenaran yang paling konseptual terkandung di dalamnya. Hal ini bukan merupakan doktrinisasi yang bersifat kaku, namun dapat dijelaskan secara ilmiah melalui pembelajaran dinamis berdasarkan berbagai sumber yang valid baik ilmu agama dan sains setelah keimanan yang kita nyatakan pada konsep sami’na wa atha’na. Pun sejatinya agama dan sains tidak berbenturan sedikit pun pada hakikatnya. Bagaimana mungkin Tuhan membenturkan sesuatu yang menjadi bahan pembelajaran fundamental bagi manusia dalam menghayati ciptaan-Nya? Tetapi, manusia-lah yang memiliki kelemahan berupa daya nalar yang terbatas dan terkadang bersifat esoterik sehingga analisis yang dihasilkan masih dapat diperdebatkan. Lagi pun, penulis berpendapat sains merupakan temuan manusia yang merupakan hasil observasinya berupa interpretasi terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di alam semesta.

Pemikiran-pemikiran yang dihasilkan bersifat subjektif-objektif terhadap fenomena yang diamati serta diakui kebenarannya di kalangan orang banyak. Pengakuan tersebut menciptakan kebenaran yang terkesan bersifat universal, sehingga kebenaran tersebut bukan “kebenaran” yang sebenarnya. Isaac Newton dalam menemukan hukumnya pada saat ia melihat apel yang jatuh dari pohonnya ternyata berhasil mempengaruhi hukum fisika terutama sub dinamika partikel hingga saat ini. Hukum Newton bersifat eksak dan dapat dirumuskan secara secara sederhana dalam bentuk perhitungan matematis. Tetapi, beberapa tahun setelahnya, Einstein mengemukakan sebuah teori Relativitas dimana fenomena fisika yang diamatinya bersifat “boleh jadi” atau lebih tepatnya relatif terhadap subjek dan objek. Hal ini juga dibuktikan, secara sederhana, dengan hukum ketidakpastian lintasan elektron pada atom yang tidak dapat ditentukan secara presisi. Walaupun, lucunya, Einstein menolak prinsip yang dikemukakan oleh Heisenberg yang mungkin terlalu indeterministik (terlalu dinamis), padahal Einstein sendiri “menciptakan” teori yang bersifat dinamis. Secara metodologi, kedua prinsip ini sama-sama benar, namun yang bertentangan adalah filosofi dan kejadian yang terjadi di kehidupan nyata masih bersifat metafisik karena tingkat kerumitan yang begitu tinggi: mekanika kuantum.


              Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sains masih menjadi bahan pertimbangan dalam mencari dan mendukung kebenaran yang disediakan oleh agama. Penulis tidak membabibutakan agama sesuatu sesuatu yang sangat diagungkan, pun sejatinya, dalam kondisi sekularistik saat ini dimana pemisahan antara sains dan agama terjadi, sebenarnya sains adalah bagian dari agama dan agama adalah bagian dari sains; inilah yang disebut sebagai ilmu sebagai percikan ketuhanan berupa pencerdasan akal dan jiwa yang bersifat kompleks dimana percikan ini menjadi pendorong untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan sebaliknya.

Penulis menganjurkan membuka QS. Al-Kahfi ayat 109 dalam mendefinisikan ilmu secara universal, tidak ada hubungan yang sakral hanya pada syari’at Islam karena Al-Qura’an tidak diturunkan untuk Nabi Muhammad SAW. saja, namun untuk seluruh alam semesta. Walaupun realitanya, KBBI tidak mengatakan demikian, pandangan penulis yang sangat dangkal ini masih sangat rancu atas dasar pemikiran yang tidak metodologis dan sistematis, tetapi ketahuilah bahwa ini merupakan awal ekspresi penulis dalam ketertarikan yang “baru saja” terhadap filsafat Al-Ghazali. ]*
Bersambung.
Kalimat yang ditandai []* adalah pendapat penulis.

0 komentar:

Posting Komentar