Kamis, 24 Januari 2019

Air yang Sama, Buah yang Berbeda



بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

“Dan di bumi terdapat bagian-bagian yang berdampingan, kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman, pohon kurma yang bercabang, dan yang tidak bercabang; disirami dengan air yang sama, tetapi Kami lebihkan tanaman yang satu dari yang lainnya dalam hal rasanya. Sungguh pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti” (Surat Guruh ayat 4)

Maka, ayat tersebut adalah awal mula dibahasnya tulisan ini. Sebuah pernyataan umum dan “biasa saja” yang ada pada sebuah kitab suci. Namun, menjadi sebuah goresan sarat penuh makna bagi yang memahaminya.

Dimulai dengan perumpamaan indahnya biodiversitas, baik liar maupun komersial, Tuhan menggambarkan betapa berbagai rupanya vegetasi di muka bumi ini. Lalu, perumpamaan samanya sumber air yang digunakan untuk menyiram, namun rasa yang dihasilkan berbeda. Samanya jenis dan dosis pupuk yang diaplikasikan, rasanya juga beda. Seragamnya lahan dan bahan tanam yang dipakai, rasanya juga tidak persis sama. Mungkin, mungkin, alif-kaf-lam di sini bukan hanya menggambarkan rasa, tapi juga kandungan. Baik itu gula yang dapat diukur dengan skala brix atau kandungan anti-oksidan dengan berbagai metode enzimatis maupun berbagai kandungan lainnya. Maka, secara ilmiah, apa yang bisa kita jawab sebagai ilmuwan dalam menentukan perbedaan penyebab perbedaan tersebut? Genetik jawabannya. Tiap-tiap jenis tanaman yang berbeda spesies pasti memiliki perbedaan yang dapat dikatakan signifikan sehingga menciptakan “perpecahan” dalam satu genus yang sama. Contohnya adalah kelapa sawit (palm oil): Elaeis oleifera sebagai kelapa sawit asli Amerika dan Elaeis guineensis sebagai kelapa sawit yang umum dibudidayakan di Indonesia serta asli dari Afrika. Keduanya tampak sama tapi tak serupa. Yang satu cenderung pendek dan satunya lagi tinggi. Oh, atau dalam bidang entomologi kita dapat menggunakan kunci dikotomus sebagai salah satu metode penentuan jenis suatu serangga. Belum lagi kita berbicara penanda molekuler yang salah satunya berbasis asam nukleat dalam menentukan polimorfisme antar spesies, oh bukan, bahkan yang berasal dari keturunan alias orang tua yang sama sekali pun.

Kamis, 03 Januari 2019

REINSPEKSI ATAS KONSEPSI MANUSIA SECARA METAFISIK Bagian I



Awalnya, aku ingin bawain narasi tentang narasi redefinisi manusia. Namun, ternyata definisi manusia yang ingin aku ceritain itu bahannya ga tersedia secara gamblang di internet. Akhirnya, istilah redefinisi aku ganti jadi reinspeksi atas konsepsi  manusia secara metafisik. Kenapa hal ini bisa terjadi? Aku coba ngulik kata pencarian definisi manusia dari salah satu filsuf terbesar Yunani yaitu Plato. Ternyata, walaupun ada beberapa gelagat sumber primernya yaitu di The Republic[1], susah nemuin pernyataan yang bersifat komprehensif dan konklusif. Bagaimana ga konklusif? Aku terlalu awam buat ngerti percakapan tingkat tinggi antara Plato, Adeimantus, Socrates, Glaucon, dan yang lainnya. Narasinya kebanyakan bersifat deskriptif dan argumentatif, dan sulit ditemukan pernyataan yang bersifat definitif. Wajar sih, isinya percakapan kan?

Oke-oke. Langsung ke intinya aja.

Narasi ini dibentuk dari hasil kuliah Seri Islamic Worldview Class yang diampu oleh Bapak Mohamad Ishaq[2]. Materi yang beliau ajarkan saat itu adalah konsep manusia. Namun, konsepsi ini ditelaah secara lebih spesifik pada kajian kejiwaan atau psikologi. Masalahnya, apakah manusia sebagai objek pembelajaran psikologi adalah sekadar benda fisik (materi) belaka atau ada unsur metafisiknya (immateri)? Lalu, bagaimana manusia menentukan standar hidup yang ideal? Menentukan atau ditentukan?

Kita akui, peradaban intelektual Yunani Kuno adalah salah satu yang terbaik sepanjang sejarah peradaban manusia, terlepas term terbaik tersebut bersifat subjektif maupun objektif. Adalah Plato, salah satu filsuf terbesar yang mencoba menelaah tentang konsep manusia. Olshewsky (1976) menjelaskan bahwa konsep manusia yang diajukan Plato berupa pemodelan jiwa dan jasad bentuk model kontainer. Model ini bermaksud menunjukkan bahwa jiwa menempati jasad dan memberikannya hidup. Namun, jasad hidup atas efek dari jiwa adalah sebuah hal yang tidak (atau belum) dapat dibuktikan. Konsep ini memberlakukan jiwa melalui pembahasaan yang bersifat spasial-fisik. Analogi yang dapat digunakan dalam melihat pemodelan ini adalah seperti roti yang diletakkan dalam kotak yang membutuhkan dimensionalitas dan distribusi ruang. Juga roti yang disimpan pada kotak  tersebut dapat terkontaminasi oleh mikroba yang dimiliki oleh kotak itu sendiri. Melihat bahwa, Plato juga meyakini, jiwa itu kekal, suci, dan sebagainya. Namun, Plato juga memberikan opini bahwa jiwa dapat menggerakkan jasad dalam bentuk yang ilahi (divine). Hal ini dikomentari oleh Olshewsky sebagai bentuk deus ex machina dalam menyelesaikan permasalahan ini secara filosofis. Plato (n.d.), dalam The Republic, di Buku I, menceritakan bagaimana jiwa yang baik adalah cita-cita yang agung dalam menciptakan dan diciptakannya sebuah keadilan. Dia menyatakannya dalam terjemahan berikut.

“And we have admitted that justice is the excellence of the soul, and injustice the defect of the soul?” “That has been admitted.” “Then the just soul and the just man will live well, and the unjust man will live ill?” “That is what your argument proves.”

Baik memang, ditinjau dari aspek aksiologisnya, meskipun hal ini tidak menjadi tinjauan kritis utama bagaimana jiwa dapat membentuk itu semua. Sederhananya, Plato menjadi orang yang pertama kali membentuk wacana dualisme jiwa dan jasad[3] (Eggers Lan, 1995).

Sabtu, 08 April 2017

Hilangnya Kacamataku

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Cerita ini dimulai tentang sebuah kacamata. Kacamata ini dibeli dari sebuah ritel online di Indonesia dengan harga yang tidak terlalu mahal; sekitar di bawah 50 ribu rupiah. Dan betapa bahagianya aku dimana kacamata yang baru saja sampai di kos tampak mewah dan elegan, namun dengan harga yang miring. Pokoknya, kepuasan menjadi salah satu kesan pertama yang muncul saat pertama kali menggunakannya.

Senang pun tak bisa ditahan.

Entah lah, tiap memakai kacamata ini aku merasa “lebih” dibanding saat tidak ber-kacamata. Lalu, aku juga terkadang merasa lebih “tamvan” dari yang lain. Duh, sombongnya. Toh seseorang dilihat tampan atau jelita bagi orang yang melihatnya tampan atau jelita, bukan semua persepsi mengatakan sama persis. Selanjutnya, hari demi hari, perasaan percaya diri ini pun lama-kelamaan muncul. Selalu, terbersit dalam hati dan duhai nikmatnya kesombongan itu.

Dibalik semua sensasi yang aku rasakan saat ber-kacamata, ada beberapa alibi yang aku gunakan saat memakainya: mengurangi potensi iritasi pada mata akibat debu dan polusi, mengurangi intensitas cahaya yang dapat merusak mata, mengurangi angin yang dapat membuat mata merah dan berair saat berkendara, dan berbagai alasan-alasan lain yang memang kebanyakan orang mengatakan hal-hal tersebut adalah bullshit. Kebetulan memang lensa pada kacamata tersebut adalah 0 atau netral.

Nah, semakin lama dipakai, pandangan yang awalnya menunduk malu-malu dengan penampilan yang berbeda, mulai lah pandangan yang dulu tunduk mulai menegak. Mata yang dulu menatap jalan kini mulai jelalatan. Asiknya “mencuci mata” dalam keadaan percaya diri, kira-kira begitu lah kondisinya. Saat bersepeda, saat menaiki kendaraan, saat ke mall, saat ke kampus, saat bepergian malam hari, pokoknya di saat ada alasan seperti di atas untuk bisa menggunakan kacamata. Apalagi dengan alibi menarik perhatian wanita yang membuat hati klepek-klepek, ah sudahlah.

Lambat laun, seiring berjalannya waktu, ada sesuatu yang sangat mengganjal diri ini tentang kacamata tersebut. Tentang sebuah situasi dimana situasi tersebut lazim dirasakan banyak orang, apalagi aku. Ya, kacamata itu hilang. Singkatnya, saat kuletakkan di kamar kecil dan aku lupa mengambilnya.

Hati pun bertanya-tanya. Kira-kira ada yang salah kah dari kacamata itu? Apakah uang yang aku gunakan tidak cukup halal untuk bisa mempertahankannya barang setahun atau dua tahun? Toh, kiranya tidak ada orang yang tersinggung, walau siapa yang tahu? Apa aku sebagai seorang anak yang diasuh oleh orang tua yang mampu merasa “selaw” dengan barang-barang yang ku gunakan? Entah lah. Pikirku semakin kemana-mana. Kenapa bisa hilang? Kenapa bisa lupa? Kenapa petugas kebersihan yang aku tanya tidak tahu keberadaannya? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa kacamata itu tidak kunjung kembali dengan cara yang ajaib? Kenapa bukan rezekiku? Ah, hikmahnya akan kutulis di bagian akhir.

Sampai saat cerita ini ditulis, khatib pernah berkata,

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَر۞َ

Di saat Muhammad Saw. kehilangan anak yang sangat beliau cintai, lalu Allah Yang Maha Kuasa menghibur beliau dengan kalimat, “Sesungguhnya engkau telah Kami diberi nikmat yang maha banyak” (QS. Al-Kautsar:1). Di saat Ya’qub As. kehilangan Yusuf As. dan beliau berkata,

Minggu, 11 Desember 2016

Sebuah Pengantar; Filsafat Etika Al-Ghazali Bagian 1


          Tidak bisa dipungkiri, filsafat Islam sangat dipengaruhi oleh filsafat Yunani yang lebih maju dan komprehensif dibandingkan filsafat-filsafat lainnya: Kristiani dan sebagainya. Ahli agama yang terlatih dalam disiplin tradisional Qur’an dan Hadis mengutuk paham pagan (Yunani) sebagai salah satu tolok ukur pemikiran Islam pada saat itu. Namun, filsuf muslim kala itu membela dengan gigih dan terarah seraya berpijak pada kata-kata Al-Kindi (wafat sekitar 256 H):

               Kita tidak boleh malu untuk mengakui kebenaran dan menganutnya dari mana pun ia datang

                kepada kita. Bahkan, sekalipun hal tersebut dihadirkan kepada kita oleh generasi-generasi ter-

                dahulu dan bangsa-bangsa asing. Bagi orang yang mencari kebenaran, tidak ada nilai yang le-

                bih tinggi daripada kebenaran itu sendiri. Ia tidak pernah merendahkan atau mencela orang yang

                 mencarinya, tetapi justru menghargai dan menghormatinya.

[Sejatinya kebenaran yang hakiki hanya bersumber dari Qur’an dan Hadis. Interpretasi kebenaran yang paling konseptual terkandung di dalamnya. Hal ini bukan merupakan doktrinisasi yang bersifat kaku, namun dapat dijelaskan secara ilmiah melalui pembelajaran dinamis berdasarkan berbagai sumber yang valid baik ilmu agama dan sains setelah keimanan yang kita nyatakan pada konsep sami’na wa atha’na. Pun sejatinya agama dan sains tidak berbenturan sedikit pun pada hakikatnya. Bagaimana mungkin Tuhan membenturkan sesuatu yang menjadi bahan pembelajaran fundamental bagi manusia dalam menghayati ciptaan-Nya? Tetapi, manusia-lah yang memiliki kelemahan berupa daya nalar yang terbatas dan terkadang bersifat esoterik sehingga analisis yang dihasilkan masih dapat diperdebatkan. Lagi pun, penulis berpendapat sains merupakan temuan manusia yang merupakan hasil observasinya berupa interpretasi terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di alam semesta.

Pemikiran-pemikiran yang dihasilkan bersifat subjektif-objektif terhadap fenomena yang diamati serta diakui kebenarannya di kalangan orang banyak. Pengakuan tersebut menciptakan kebenaran yang terkesan bersifat universal, sehingga kebenaran tersebut bukan “kebenaran” yang sebenarnya. Isaac Newton dalam menemukan hukumnya pada saat ia melihat apel yang jatuh dari pohonnya ternyata berhasil mempengaruhi hukum fisika terutama sub dinamika partikel hingga saat ini. Hukum Newton bersifat eksak dan dapat dirumuskan secara secara sederhana dalam bentuk perhitungan matematis. Tetapi, beberapa tahun setelahnya, Einstein mengemukakan sebuah teori Relativitas dimana fenomena fisika yang diamatinya bersifat “boleh jadi” atau lebih tepatnya relatif terhadap subjek dan objek. Hal ini juga dibuktikan, secara sederhana, dengan hukum ketidakpastian lintasan elektron pada atom yang tidak dapat ditentukan secara presisi. Walaupun, lucunya, Einstein menolak prinsip yang dikemukakan oleh Heisenberg yang mungkin terlalu indeterministik (terlalu dinamis), padahal Einstein sendiri “menciptakan” teori yang bersifat dinamis. Secara metodologi, kedua prinsip ini sama-sama benar, namun yang bertentangan adalah filosofi dan kejadian yang terjadi di kehidupan nyata masih bersifat metafisik karena tingkat kerumitan yang begitu tinggi: mekanika kuantum.